JALURNEWS.COM, Prabumulih – Majelis hakim Pengadilan Negeri Prabumulih, Sumatera Selatan menunda sidang putusan terkait gugatan lahan tol Desa Jungai, Kecamatan Rambang Kapak Tengah, yang korbannya mencapai 16 orang dan perkiraan total lahan kurang lebih 140.000 m2.
Sidang putusan yang dijadwalkan pada Kamis, 14 April 2022 lalu itu, rencananya akan digelar pada 21 April 2022 mendatang.
Namun masyarakat korban mafia tanah dalam hal ini tergugat sangat menantikan keputusan tersebut. Sebab, para tergugat sudah lama mengawal dan menunggu agar hakim menjatuhkan putusan terkait sidang gugatan tersebut.
Sebelumnya, tergugat inisial S juga mengatakan, pihak penggugat diduga mempunyai jaringan di pengadilan, sehingga masyarakat bisa dipermainkan. Dan saat akan direkomendasikan Kepala ATR/BPN Prabumulih bisa batal seketika dan terjadi gugatan pertama kepada masyarakat.
“Otomatis mereka (penggugat) sudah kuat jaringan di sana. Apalagi salah satu oknum di Pengadilan punya hubungan keluarga dengan penggugat, sudah kalah di sidang pertama, dan menggugat kembali dengan objek yang sama,” kata dia.
Dalam hal ini masyarakat yang tergugat adalah anggota FKMTI (Forum Korban Mafia Tanah Indonesia), yang menyatakan alas hak kepemilikan yang sah adalah masyarakat yang tergugat.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum (Ketum) Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK Budiarjo mengatakan, terkait dengan tertundanya pembacaan keputusan membuat rakyat korban perampasan tanah sangat menderita.
“FKMTI menduga ada permainan mafia tanah dengan menggunakan institusi pengadilan untuk barmain mendapatkan keuntungan dari korban pemilik tanah,” jelasnya.
FKMTI berharap aparat penegak hukum (APH) harus melaksanakan perintah Presiden memberantas mafia tanah berserta bekingnya.
“Dalam kasus Prabumulih diduga ada oknum pengadilan yang bermain-main terhadap lambannya pembacaan keputusan,” ungkap Ketum FKMTI.
Terkait kasus ini FKMTI siap menantang adu data secara terbuka live di TV nasional. “Ini akan dilakukan jika putusan nantinya tidak sesuai dengan fakta hukum data alas hak dasar kepemilikan tanah yang diatur dalam UUPA No.5 tahun 1960,” ucap Budiarjo.
Budiarjo menuturkan, peristiwa semacam ini sudah menjadi rahasia umum, ini jamak terjadi di semua proyek strategi nasional, terutama di dalam pembebasan lahan.Dan hampir sepanjang proyek strategis jalan tol daerah Sumatera Selatan menjadi bermasalah dan menjadi korban.
FKMTI berharap kasus Prabumulih ini menjadi pengungkapan peran oknum mafia tanah mengunakan institusi pengadilan.
“Ini sangat menganggu percepatan proyek strategi nasional. Dan oknum-oknum yang terlibat dihukum seberat-beratnya,” pinta Ketum FKMTI.
Hingga berita ini dipublikasikan, Panitera Pengadilan Negeri Prabumulih, Darmawati belum menjawab konfirmasi terkait pernyataan yang disampaikan tergugat dan Ketua Umum FKMTI.